“Tegakkan
hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu...”, begitulah
kutipan dari lirik lagu ciptaan Iwan Fals yang berjudul “Manusia Setengah
Dewa”. Seorang musisi fenomenal yang selalu hadir mengkritisi pemerintah
melalui sederet lagu ciptaannya. Dengan skill bermain alat musik yang
aduhai, Iwan Fals membuktikan kepada seluruh elemen negara bahwa menyadarkan
masyarakat tentang keadilan tidak harus melalui demonstrasi, tetapi melalui
seni ataupun tulisan akan lebih efektif untuk melawan ke-dzalim-an
oknum-oknum penegak hukum yang nakal. Iwan Fals dengan cerdik mampu menyadarkan
masyarakat tentang hukum, sehingga masyarakat pun ikut memantau penegakan hukum
di Indonesia.
Kita
ketahui bersama bahwa dalam UUD RI 1945 tepatnya di Pasal 1 ayat 3 –lebih
tepatnya pada amandemen ketiga– disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum. Secara redaksi sudah sangat jelas dan dapat dimaknai bahwa segala aspek
kehidupan seluruh elemen negara harus tunduk pada hukum. Konsep negara hukum
lebih diarahkan untuk terciptanya kehidupan demokratis, memperjuangkan hak
asasi manusia serta kesejahteraan yang berkeadilan. Maksudnya, hukum yang
ditegakkan sampai kapanpun harus sejalan dengan gagasan dan konsep awal yang
dimaksudkan para pendiri negara saat bersidang dalam sidang BPUPKI tanggal 28
Mei-1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945, yaitu tidak boleh melenceng dari
Pancasila dan UUD RI 1945.
Tiga
unsur pokok yang harus dimiliki oleh negara hukum bersifat mutlak, artinya
tidak dapat diganggu gugat. Menurut unsur supremacy of law, dalam negara
hukum kedudukan hukum berada pada posisi tertinggi, yang artinya kekuasaan
harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Bila hukum tunduk pada kekuasaan,
maka kekuasaan dapat membatalkan hukum. Padahal hukum harus menjadi tujuan
untuk melindungi rakyat. Sedangkan menurut unsur equality before the law, penguasa
dan rakyat memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Dan unsur terakhir adalah
human rights, atau hak asasi manusia. Ketiga unsur tersebut sangatlah
penting dan harus diperhatikan agar penegakan hukum di negara hukum berlaku
sebagaimana mestinya.
Penegak
hukum idealnya menegakkan hukum sesuai standar operasional prosedur yang
bersifat mengikat para penegak hukum untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya
dan seadil-adilnya. Tetapi realita yang terjadi adalah banyak penyimpangan dan
penyelewengan dalam penegakan hukum oleh oknum penegak hukum yang nakal. Sebenarnya
ada regulasi yang digunakan untuk mengatur penegakan hukum, tetapi oknum nakal
tersebut seolah bersikap acuh dan masa bodoh terhadap regulasi yang ada.
Padahal sudah jelas apabila oknum tersebut tertangkap basah menyeleweng, maka sanksi
ringan hingga berat telah menantinya. Oknum yang berlandaskan teori, “maju tak
gentar, membela yang bayar”. Faktor harta telah membutakan hati nurani oknum
tersebut.
Masih
banyaknya oknum penegak hukum yang meyeleweng berimbas kepada penegakan hukum
yang masih “pandang bulu”. Akibatnya, yang bulunya tipis menjadi semakin tipis,
yang bulunya tebal semakin nyaman dengan posisi atau kedudukannya. Dengan kata
lain, hak asasi manusia orang kecil telah direnggut demi posisi atau jabatan.
Seolah oknum tersebut menganggap bahwa perilakunya sudah biasa, tanpa
memikirkan sudut pandang orang yang telah ia dzalimi. Seperti telah lupa
pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga”, bahwa suatu
saat akan ada masanya perbuatannya terungkap.
Banyak masyarakat sudah jauh lebih dewasa, dengan ikut
memantau proses penegakan hukum, entah melalui media massa konvensional ataupun
digital. Masyarakat pun harus dewasa dalam menyikapi suatu berita, karena bisa
jadi berita tersebut merupakan propaganda atau bahkan hanya suatu kebohongan.
Bahkan dalam berpendapat melalui media sosial, semua diatur agar tidak
mengandung unsur SARA. Begitu pula sebaliknya, apabila ada berita tentang
terkuaknya kasus oknum penegak hukum atau penguasa yang nakal, masyarakat akan
dengan mudah memberikan stigma negatif terhadap oknum tersebut. Andaikan ada
masyarakat yang ter-dzalimi oleh oknum, maka masyarakat bisa menggugat,
karena kini masyarakat sudah sadar dan melek hukum.
Contoh
konkrit dan masih hangat adalah kasus seorang nenek yang mengambil beberapa
potong kayu bakar di lahan suatu perusahaan. Dipergok mencuri oleh security,
nenek tersebut mengaku bahwa lahan dimana sang nenek mengambil kayu bakar
tersebut milik Almarhum suaminya. Pihak perusahaan tidak terima hingga
dibawalah kasus tersebut ke pengadilan setempat yang pada akhirnya sang
neneklah yang didakwa bersalah oleh hakim dan dijatuhi hukuman untuk menginap
di hotel prodeo beberapa saat. Andaikan pihak perusahaan hanya inginmemperjelas
status lahan, cukuplah dengan membawa sertifikat tanah dan mengadakan audiensi
dengan anak-cucu nenek tersebut tanpa membawa kasus ini ke meja hijau. Terkait
beberapa potong kayu yang diambil nenek, biarlah diberikan secara cuma-cuma.
Toh kayu tersebut akhirnya dipakai memasak demi bertahan hidup. Namun, bisa
dilihat sifat keserakahan dari makhluk yang disebut manusia. Sungguh miris.
Sudah
menjadi hal lumrah apabila aparat penegak hukum selalu dilihat gerak-gerik dan
tingkah lakunya oleh masyarakat luas. Ketika banyak oknum penegak hukum
diketahui menyeleweng oleh masyarakat, akan menjadi bom waktu yang mengakibatkan
masyarakat memberikan stigma negatif yang akhirnya masyarakat akan memandang
sebelah mata instansi tersebut. Oleh karenanya, perlulah kiranya pimpinan
instansi penegak hukum introspeksi dan berbenah demi terciptanya kehidupan
demokratis, hak asasi manusia yang ditegakkan dan diperjuangkan serta
kesejahteraan yang berkeadilan.
Emperor Casino: 50 FS + €100 + 200 Free Spins
BalasHapusEmperor Casino offers an 1xbet exciting new and innovative gaming experience for 제왕 카지노 your online casino client. Play with 100% welcome bonus up to €100 메리트 카지노 고객센터 + 200 free spins!