Minggu, 10 April 2016

Pemerataan Hukum



            Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu...”, begitulah kutipan dari lirik lagu ciptaan Iwan Fals yang berjudul “Manusia Setengah Dewa”. Seorang musisi fenomenal yang selalu hadir mengkritisi pemerintah melalui sederet lagu ciptaannya. Dengan skill bermain alat musik yang aduhai, Iwan Fals membuktikan kepada seluruh elemen negara bahwa menyadarkan masyarakat tentang keadilan tidak harus melalui demonstrasi, tetapi melalui seni ataupun tulisan akan lebih efektif untuk melawan ke-dzalim-an oknum-oknum penegak hukum yang nakal. Iwan Fals dengan cerdik mampu menyadarkan masyarakat tentang hukum, sehingga masyarakat pun ikut memantau penegakan hukum di Indonesia.

            Kita ketahui bersama bahwa dalam UUD RI 1945 tepatnya di Pasal 1 ayat 3 –lebih tepatnya pada amandemen ketiga– disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara redaksi sudah sangat jelas dan dapat dimaknai bahwa segala aspek kehidupan seluruh elemen negara harus tunduk pada hukum. Konsep negara hukum lebih diarahkan untuk terciptanya kehidupan demokratis, memperjuangkan hak asasi manusia serta kesejahteraan yang berkeadilan. Maksudnya, hukum yang ditegakkan sampai kapanpun harus sejalan dengan gagasan dan konsep awal yang dimaksudkan para pendiri negara saat bersidang dalam sidang BPUPKI tanggal 28 Mei-1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945, yaitu tidak boleh melenceng dari Pancasila dan UUD RI 1945.
            Tiga unsur pokok yang harus dimiliki oleh negara hukum bersifat mutlak, artinya tidak dapat diganggu gugat. Menurut unsur supremacy of law, dalam negara hukum kedudukan hukum berada pada posisi tertinggi, yang artinya kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum. Padahal hukum harus menjadi tujuan untuk melindungi rakyat. Sedangkan menurut unsur equality before the law, penguasa dan rakyat memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Dan unsur terakhir adalah human rights, atau hak asasi manusia. Ketiga unsur tersebut sangatlah penting dan harus diperhatikan agar penegakan hukum di negara hukum berlaku sebagaimana mestinya.
            Penegak hukum idealnya menegakkan hukum sesuai standar operasional prosedur yang bersifat mengikat para penegak hukum untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya dan seadil-adilnya. Tetapi realita yang terjadi adalah banyak penyimpangan dan penyelewengan dalam penegakan hukum oleh oknum penegak hukum yang nakal. Sebenarnya ada regulasi yang digunakan untuk mengatur penegakan hukum, tetapi oknum nakal tersebut seolah bersikap acuh dan masa bodoh terhadap regulasi yang ada. Padahal sudah jelas apabila oknum tersebut tertangkap basah menyeleweng, maka sanksi ringan hingga berat telah menantinya. Oknum yang berlandaskan teori, “maju tak gentar, membela yang bayar”. Faktor harta telah membutakan hati nurani oknum tersebut.
            Masih banyaknya oknum penegak hukum yang meyeleweng berimbas kepada penegakan hukum yang masih “pandang bulu”. Akibatnya, yang bulunya tipis menjadi semakin tipis, yang bulunya tebal semakin nyaman dengan posisi atau kedudukannya. Dengan kata lain, hak asasi manusia orang kecil telah direnggut demi posisi atau jabatan. Seolah oknum tersebut menganggap bahwa perilakunya sudah biasa, tanpa memikirkan sudut pandang orang yang telah ia dzalimi. Seperti telah lupa pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga”, bahwa suatu saat akan ada masanya perbuatannya terungkap.
            Banyak masyarakat sudah jauh lebih dewasa, dengan ikut memantau proses penegakan hukum, entah melalui media massa konvensional ataupun digital. Masyarakat pun harus dewasa dalam menyikapi suatu berita, karena bisa jadi berita tersebut merupakan propaganda atau bahkan hanya suatu kebohongan. Bahkan dalam berpendapat melalui media sosial, semua diatur agar tidak mengandung unsur SARA. Begitu pula sebaliknya, apabila ada berita tentang terkuaknya kasus oknum penegak hukum atau penguasa yang nakal, masyarakat akan dengan mudah memberikan stigma negatif terhadap oknum tersebut. Andaikan ada masyarakat yang ter-dzalimi oleh oknum, maka masyarakat bisa menggugat, karena kini masyarakat sudah sadar dan melek hukum.
            Contoh konkrit dan masih hangat adalah kasus seorang nenek yang mengambil beberapa potong kayu bakar di lahan suatu perusahaan. Dipergok mencuri oleh security, nenek tersebut mengaku bahwa lahan dimana sang nenek mengambil kayu bakar tersebut milik Almarhum suaminya. Pihak perusahaan tidak terima hingga dibawalah kasus tersebut ke pengadilan setempat yang pada akhirnya sang neneklah yang didakwa bersalah oleh hakim dan dijatuhi hukuman untuk menginap di hotel prodeo beberapa saat. Andaikan pihak perusahaan hanya inginmemperjelas status lahan, cukuplah dengan membawa sertifikat tanah dan mengadakan audiensi dengan anak-cucu nenek tersebut tanpa membawa kasus ini ke meja hijau. Terkait beberapa potong kayu yang diambil nenek, biarlah diberikan secara cuma-cuma. Toh kayu tersebut akhirnya dipakai memasak demi bertahan hidup. Namun, bisa dilihat sifat keserakahan dari makhluk yang disebut manusia. Sungguh miris.
            Sudah menjadi hal lumrah apabila aparat penegak hukum selalu dilihat gerak-gerik dan tingkah lakunya oleh masyarakat luas. Ketika banyak oknum penegak hukum diketahui menyeleweng oleh masyarakat, akan menjadi bom waktu yang mengakibatkan masyarakat memberikan stigma negatif yang akhirnya masyarakat akan memandang sebelah mata instansi tersebut. Oleh karenanya, perlulah kiranya pimpinan instansi penegak hukum introspeksi dan berbenah demi terciptanya kehidupan demokratis, hak asasi manusia yang ditegakkan dan diperjuangkan serta kesejahteraan yang berkeadilan.

1 komentar:

  1. Emperor Casino: 50 FS + €100 + 200 Free Spins
    Emperor Casino offers an 1xbet exciting new and innovative gaming experience for 제왕 카지노 your online casino client. Play with 100% welcome bonus up to €100 메리트 카지노 고객센터 + 200 free spins!

    BalasHapus